Laman

Kamis, 28 Maret 2013

WRITER'S BLOCK


Sepi menguak kisah
Kedua tangan terbuka
Tak henti aku bersuka
Lepas gelisah pada yang empunya
Kuburu aksara jadi bait tinta
merangkai yang tersurat dan tersirat
Dan dirimu telanjang jadi kata - kata..

KEPADA BUNGA YANG KUPETIK

Dalam dingin malam
Telah kusiratkan cerita
Hingga terik siang masih mengayuh
Maka tak akan kusuratkan yang tersirat
Hingga metafora tak mampu menerjemahkanmu

SURAT YANG TAK PERNAH SAMPAI

Aku seperti berjalan di padang tandus
Sunyi
Sendirian
Mengapa kau duduk di teras sambil membelai cincin pemberianku? Enggan kah engkau tuk menemaniku?

Di sini
Di jalanan ìñì
Aku menyusuri dengan saksama
Bukan asal asalan
Telah kutemukan beberapa tempat
Untuk menjadi bagian terpenting dari peradaban
Bukan sekedar sekedarnya
Tapi apa kau bilang?
Jalanku hanya fatamorgana?

Tidak sayang
Kau tak merasakan terik di padang ìñì
Karena hanya duduk dan sibuk merapikan pakaian pemberianku

Lalu kau minta aku kembali
Setelah kau tahu telah berapa jauh berjalan
Lalu menghakimi dengan mengataiku bahwa aku tak tahu kemana arah aku berjalan
Kau salah!
Salah besar sayang

Apakah ìñì yang kau sebut cinta?
Meminta mundur seribu langkah setelah kakiku luka
Dan tubuhku mengering termakan waktu di padang ìñì
Jangan kau tarik aku
Sebab aku bukanlah prajurit perang Чǝлб dengan mudah di tempatkan, dan dengan mudah di kembalikan └∂ģî

aku punya jalan sendiri
Bila kau cinta doakan aku untuk mendapatkan tujuanku
Supaya aku akan datang menjemput
Bukan dengan kereta apalagi jalan kaki
Karena aku ingin membuat pesawat
Dan di teras rumahmu
Tak cukup lahan untuk pesawatku

Sayang kau boleh benci
Bila aku sungkan mengenakkan rantai Чǝлб kau sebut gelang
Sebab
Karena bila mencintaimu aku harus mendekam dalam penjara sepi
Maka aku akan memilih berhenti mencintai
Karena itu bukan cinta
Hanya fatamorgana
dan jangan coba - coba membujuk sedih
Sebab untuk ke terasmu itu aku tak sudi

tentang puisi - puisiku

Bila semua puisi yang kutulis tak pernah kau baca
Maka tak pernah aku berhenti menulisnya berkali kali
Tapi bila kau telah membacanya,
Maka lebih hebat lagi aku menulismu menjadi puisi....

rantai

Dunia tak seluas genggaman tangan atau pelukan hangatmu,
Maka jangan kau rantai aku dengan mengatasnamakan cinta...

BEBASKAN AKU

Cinta seharusnya membebaskan
Bukan mengikat
Maka jangan kau bendung langkahku
dan jangan ikat lenganku
Bila tak mau tumpah air mata

mengajarkanmu

Mempelajarimu tak membutuhkan waktu lama,
Tapi mengajarkanmu butuh waktu berabad - abad,
Sebab kau tak pernah mau untuk belajar, apalagi mengerti..

Senin, 17 September 2012

DI TEPIAN

selamat pagi wahai pagi
aku berdoa merajutmu jadi harapan
saat deru ombak menghantam
lalu desir pasir butakanku

pagi di batas pagi yang segera pergi
kuramu kau menjadi desah nafas yang tak henti
hingga tersadar sepi terlalu lama pergi

selamat tinggal pagi yang bukan pagi lagi
di tepian
aku telah memasungmu menjadi sajak yang tak sempurna
karena kita sama

SORE TADI

torang da manyanyi rame - rame
bakusedu sampe tangisi - ngisi
dengan full ekspresi
serta malam datang
torang bakurebe pake topeng
stel nda baku kanal
padahal satu tampa makang

Jumat, 24 Agustus 2012

Perempuan Berkacamata

raut wajah gelisahmu menetapkan ribuan harap ..
aku telah berkali kali membasuh lusuhmu
 dengan senyum lanutku..
tapi mengapa kau menepi hingga 
sepasang kacamata membunuh ceria yang harusnya warna..
dari balik tembok ini aku bisa mendengar 
ratapan pedih yang abadi dari masa lalumu..

Penumpang Baru


Setelah menempuh jauh perjalanan
Tibalah kami di negeri tak bernama
Dengan mata telanjang, aku melihat mereka melambaikan tangan
Meminta tumpangan

Doa dan harapanku semoga saja kami tiba dengan selamat
Dan harapanku,
Semoga tiba di tujuan dengan penumpang Чǝлб tak berkurang..

Minggu, 18 Maret 2012

Nada

derap langkah memotong angin..
di sebuah pondok tua layu..
aku menuntaskan sejentik nada yang bermain bersama angin..
hingga saat malam tiba nyanyian sumbang tak lagi sombong..
setelah pecah sudah senyummu yang terkungkung..
sepi sepeninggal senja

aku melewati tumpukan senyum diberandamu..
tapi kini gersang tempatku berpijak..
bila fajar tak sungkan..
kumohon jangan pergi terlalu jauh..
sebab aku takut sepi..

manado, 12/03/2012

saat

Deru angin meringkihkan gerombolan sendu nan pilu..
amukan yang membawa ribuan misteri..
saat dingin mengikis kulit..
di sudut sudut nusantara tercipta tangis dan duka..


16 maret 2012

JEJAKMU

hampir setiap syair kujamahi hingga berulang ulang kali,,
hampir setiap waktu ku salin menjadi kisahmu,
abadi dan meninggalkan jejak jejak sejarah,
saat namamu tertera di setiap lirik syairku..

19-03-2012

Jumat, 10 Februari 2012

SADAR TIDAK SADAR

Pesawat ini mulai tergoncang
Udara mulai menghapus jalur
Penumpang mulai meradang
Hingga berang

Sadar tidak sadar
Radio mulai tak berfungsi atau mungkin enggan
Lalu bagaimana mungkin tetap terbang
Melaju ke sepuluh lapisan langit
Bila bahan bakar pun mulai beku

Detak jantung semakin pelan
Kami tak mau mati
Apalagi aku !
Belum sempat aku mendarat ke tempat tujuanku
Di atas bulan di atas bintang

Berapa lama lagi kita bertahan pilot ?
Aku - aku yang lain khawatir
Aku pun begitu
Sejujurnya
Aku benci melakukan pendaratan darurat
Tapi bukankah kita tetap harus mendarat ?

Entah kapan dan dimana
Aku mulai lelah mendengar kerinduan mereka untuk mendarat
Semoga para awak menemukan pilihan
Diantara banyaknya persimpangan

Pak pilot ?
Terlalu nyamankah kau disana ?
Atau mungkin sedang tertidur ?
Ayo bangun !
Pramugarimu mulai di gauli

Sadar atau tidak sadar
Mungkin sebentar lagi semuanya menjadi zombie!

Senin, 30 Januari 2012

SUARA GELAP

Penulis : (achi breyvi)

Stage I

(di bawah terangnya rembulan sesosok pemuda duduk sambil memainkan harmonika ).

Apong : (dengan gaya seorang tuna daksa )

Andaikan aku bisa memilih, aku tak ingin menjadi seperti ini.

Oh Tuhan, tolong aku. Berikan kehidupan yang sesungguhnya untukku.

Kenapa Kau tak berikan aku kehidupan normal seperti mereka.. ?

(sambil menunjuk kearah segerombolan anak Punk yang tengah asik

bercanda).

Suara : kau tak seharusnya seperti ini.

Waktu : kadang hidup terasa tak adil

Bermacam – macam keluh dan peluh terucap

Segelintir orang mencoba memprotes

Tapi Tuhan, tak pernah ingin di protes.

(di sebuah taman, segerombolan anak Punk mendekati apong ketika melihat dia memegang sebuah rubiks)

Brandal : woi, anak cacat ! berikan uang kamu cepat !

Apong : tidak, aku tidak punya uang.

Brandal : alah!!! Kamu jangan berpura – pura lagi, kamu anak seorang pengusaha

kaya bukan ??

Apong : bukan, saya hanya anak seorang buruh.

Brandal : alah perduli amat, cepat berikan apa yang kau punya.

Apong : tidak, jangan ! kumohon..!!

Brandal : ayo hajar dia. Orang seperti kamu harusnya mati saja.

(brando dan kawan-kawan bergegas meninggalkan apong)

Apong : suatu saat nanti kalian akan kubalas.

(masuklah seorang wanita dan menolong apong.)

Lusi : hei, kenapa denganmu ? siapa yang melakukan ini ?

Apong : aku tidak apa – apa. (sambil berdiri menghindari lusi)

Lusi : hei, jangan takut. Aku tak akan menyakitimu.

Apong : kamu pasti akan menghinaku bukan ?

Kamu pasti akan menertawakanku ?

Kamu pasti akan memukulku kan ?

Lusi : kenapa kamu berkata seperti itu ? aku tak akan menghinamu, tak akan

Menertawakanmu, apalagi memukulmu ! tak perlu takut seperti itu.

(mulai mendekati apong)

Apong : tidak, kamu pasti berdusta. Kau akan menculikku dan membunuhku.

Kau akan memenggal tubuhku lalu membuangnya ke dalam laut.

Pergi kau! Pergi! Atau aku akan melemparmu!

Lusi : aku bukan orang seperti itu. Jangan takut, aku baik.

(kemudian menawarkan sebuah permen). Kamu mau ?

Apong : aku mau. (merampas permen yang dipegang lusi, kemudian membuka

Dan memakannya.

Lusi : boleh kita berkenalan ? nama saya lusi.

Apong : saya apong. Apong. Saya apong.

Lusi : kamu tinggalnya di mana ? mungkin kita bisa berteman.

Apong : teman ? kamu mau berteman denganku ? benarkah ?

Lusi : yah, kenapa tidak. Kamu mau ? apong tinggalnya dimana ?

Apong : (menganggukkan kepalanya) saya tinggal di rumah.

Lusi : iya, tapi dimana apong ? saya juga tinggal di rumah.

Apong : di, di dekat sini. Maaf, saya harus segera pulang. (meninggalkan lusi)

Stage II

Apong sedang duduk di taman sambil bermain rubiks

Terdengar suara yang melantangkan tanya terhadapnya.

Suara : wahai pemuda, siapakah namamu ?

Apong : apong, namaku Apong. Apong.

Suara : apakah kau bahagia hidup seperti ini ?

Apong : tidak! Tidak, aku tak bahagia.

Suara : mengapa kau tak bahagia ?

Apong : karena aku selalu di tindas. Dimanapun dan oleh siapapun.

Suara : lalu apa yang ingin kau lakukan kepada mereka yang menindasmu ?

Apong : bunuh!, bunuh! Aku ingin membunuh mereka.

Suara : silakan.

Apong : tidak, tidak. Aku tidak bisa.

Suara : yah, kamu bisa. Kamu harus bisa.

Apong : bagaimana caranya ?

Suara : bunuh mereka. Tikam, tembak atau gantung.

Apong : tidak, aku takut masuk penjara.

Suara : apa kau pikir mereka tidak membencimu ? mereka ingin membunuhmu!

Apong : siapa ? siapa ? ayah ? ibu ? kakak ? brandal ? lusi ?

Suara : yah, mereka semua ingin membunuhmu. Bunuh mereka sebelum

Mereka membunuhmu.

Apong : tidak, aku takut. Aku cacat. Aku cacat. Aku tidak cukup kuat.

Suara : racuni mereka. Beri racun di dalam makanan dan minuman.

Apong : racun ? racun ? bagaimana caranya ?

Suara : kau tahu caranya.

Apong : tunjukkan. Contohkan. Ajarkan aku. Aku ingin membunuh mereka.

Hei, kau yang bicara padaku tunjukkan. Tunjukkan padaku caranya.

(apong berontak)

Apong : hei langit, tunjukkan padaku ! diam. Ayo bicaralah. Ayolah. Ayo.

Aku ingin membunuh mereka semua. Ayo bicara ! tunjukkan !

Hei, bicara padaku.

(apong meratap)

Apong : mereka hanya bisa mengejekku, mereka hanya bisa menertawakanku.

Mereka hanya bisa memukulku. Mereka sama sekali tak menyayangiku.

Kenapa Apong harus seperti ini. Aku ingin menjadi manusia normal.

Mengapa ? haruskah aku ? mengapa aku begini ?

(lalu Apong tertidur di tempat itu)

Stage III

Lusi : Apong, bangun apong. Ayo bangun. Kenapa denganmu ?

Apong : tidak, tidak apa – apa. Apong tidak apa – apa.

Lusi : ayo ceritakan apa yang terjadi apong. Mungkin saya bisa membantu.

Apong : tidak, jangan. Kau tak perlu membantuku.

Lusi : ayolah apong. Kita sahabat bukan ?

Apong : bukan! Kita bukan sahabat. Kita berbeda.

Lusi : berbeda apanya apong ? kita sama – sama manusia.

Apong : bukan! Apong bukan manusia. Apong monster ! apong cacat !

Dan manusia bukan monster ! juga bukan cacat ! apong harus mati.

Lusi : apong, kamu jangan berkata seperti itu. Kamu itu manusia sama

denganku. Tuhan menciptakan manusia itu menurut gambar dan

rupanya.

Apong : tidak, kita berbeda. Tuhan tidak menciptakanku. Hanya kamu saja !

Aku diciptakan oleh kedua orang tuaku yang jahat. Mereka membuatku

cacat. Membuatku seperti monster.

Lusi : apong, kamu bukan monster ! kamu manusia sama sepertiku.

Memangnya siapa yang bilang kamu monster ?

Apong : ayah, ibu dan kakak!

Lusi : lalu siapa yang bilang kamu cacat ? kenapa kamu harus mati ?

Apong : brandal. Brandal dan teman – temannya bilang aku mati saja.

Lusi : tidak Apong. Kamu tak boleh mati. Itu urusan Tuhan. Dia yang

Menentukan kapan manusia itu lahir dan kapan manusia itu meninggal.

Apong : apong juga bisa. Apong juga bisa menentukan kapan.

Lusi : apa maksudmu ?

Apong : bunuh. Bunuh. Membunuh. Apong ingin membunuh mereka.

Lusi : jangan Apong. Itu tidak baik, itu dosa. Siapa yang ingin kau bunuh ?

Apong : semua. Semuanya. Aku ingin membunuh semuanya.

(apong meninggalkan Lusi sendirian di taman )

Stage IV

(ayah dan ibunya sedang menonton TV di ruang tamu)

Apong masuk

Apong : malam. Malam mama malam papa. Apong pulang.

Ayah : darimana saja kamu bodoh ? dasar anak bodoh.

Ibu : Apong kamu dari mana saja ? hanya bikin susah !

Sudah cacat, masih saja keluyuran. Apalagi kamu normal.

Ayah : Apong kesini kamu.

Apong : iya papa. Kenapa papa ?

(ayahnya langsung menghajarnya dengan cambuk lalu Apong menangis)

Ibu : sudah. Tidur sana.

Apong : lapar. Apong lapar mama.

Ibu : makanan sudah habis. Apong tidur sana !

Apong : baik. Baik mama.

(apong segera mengambil tikar dan selimutnya lalu membaringkan tubuhnya sambil menguping)

(sementara itu ibu dan ayahnya makan sambil menonton TV)

(apong belum tidur dan hanya bisa menangis menahan lapar.)

Ayah : besok papa berangkat keluar kota. Selama seminggu ke bali.

Ada proyek yang harus dikerjakan.

Ibu : jangan lupa belikan mama oleh – oleh ya.

Ayah : iya iya. Ayo kita istirahat.

Stage V

(Apong sendirian dirumah dan duduk sambil menonton TV)

Suara : Apong, sudahkah kau melakukannya ?

Apong : siapa ? siapa kamu ? (sambil mencari – cari)

Suara : bunuh saja mereka. Mereka sedang menrencanakan sesuatu.

Apong : apa ? rencana apa ?

Suara : membunuhmu ! (apong ketakutan)

Apong : mama ? papa ?

Suara : iya. Dan kakakmu.

(apong kerasukan dan membunuh kedua orang tuanya)

(dia menikam ayahnya yang sedang tertidur)

Apong : ku bunuh kau ! mati ! mati ! mati kau !

Ibu : Apong ! apa yang kau lakukan ?

Apong : kau juga ! kau mau membunuhku kan ?! kau harus mati.

(ibu berusaha lari tapi sayangnya terjatuh)

Apong menikam punggung ibunya hingga tewas.

Stage VI

Apong duduk di sebuah taman sambil memegang pisau.

Tiba – tiba Rudi kakaknya apong menghampirinya.

Rudi : dasar sialan ! dasar monster ! kau membunuh ibu dan ayahmu ?

Apong : bukan, bukan apong ka. Bukan apong ka.

Rudi : dasar cacat ! bodoh! Akui saja !

Aku akan membunuhmu !

(dia menghajar Apong sementara itu apong hanya diam)

Lalu terdengar suara. (sementara rudi terus menghajar apong)

Suara : Apong, bunuh dia. Benarkan apa kataku ?

Mereka ingin membunuhmu !

Apong : tidak. Aku tidak mau!

Suara : bunuh ! bunuh dia !

Apong : tidak ! aku tidak mau !

Suara : bunuh sekarang juga ! tikam dia !

Apong : tidak ! dia kakakku !

Rudy : apa yang kau bicarakan monster ! idiot !

Apong : kubunuh kau !

(apong berusaha meraih pisau dan menikam kakaknya hingga dia)

Apong : haha hahahaha aku berhasil membunuh mereka !!

Hahahaha! Tak ada lagi yang bilang aku monster !

Tiba – tiba lusi masuk menghampiri apong.

Lusi : Apong ? apa yang kau lakukan ?

Apong : (apong tersadar perbuatannya)

Apong : tidak, apa yang apong lakukan ? tidak ! bukan apong yang

Lakukan ini. Bukan apong.

Lusi : kamu yang membunuhnya apong. Bukan orang lain.

Apong : maafkan apong. Apong tidak sengaja. Apong tidak sengaja.

Maaf lusi. Maafkan apong. Ampun. Jangan pukul apong.

Lusi : (merangkul Apong dan duduk berbincang – bincang)

Lusi : apong, kenapa denganmu ini ? kenapa kau membunuh kakakmu ?

Apong : aku tak tahu. Dia yang menyuruhku. Dia. Dia yang bicara begitu keras.

Lusi : siapa apong ?

Apong : dia. dia. Dia di telingaku. Dari langit mungkin.

Maafkan apong. Maaf.

Tiba – tiba terndengar suara lagi.

Suara : bunuh dia ! bunuh dia lusi. Orang ini akan membunuhmu !

Lusi : tidak, aku tidak mau ?

Apong : (merasa heran dengan lusi yang berbicara sendiri) kenapa kamu ?

Lusi : tidak apa – apa apong.

Suara : bunuh dia ! dia menyadari kau akan membunuhnya.

Lusi : tidak, tidak. Aku tidak mau ! tidaaak !!!

Apong : lusi ? kenapa kamu ? lusi

Suara : bunuh ! bunuh ! bunuh ! bunuh dia !

Lusi : tidak !!!! (lalu mencekik leher Apong hingga tewas).

Kemudian polisi tiba dan menangkap Lusi. Lusi menjadi tersangka sebagai pelaku utama pembunuhan itu.

*SELESAI*

PENYAIR

Pendo! kita sebenarnya nda mo jadi penyair
Mar, yang kita tahu cuma batulis deng menghayal
Nintau ni kata – kata ja punggu dimana deng depe arti apa
Mar,
Sebetulnya kwa sederhana
Kita jadi bagini karena butuh tamang curhat
For mo dengar kita pe isi hati

PINTU

Udara dingin menyusupi kulit ketika jam menunjukkan waktu tengah malam. Derap langkah terdengar samar di beranda rumah saat jemariku menjaga alam sadarku. Sepi seolah mengungkapkan beribu kisah ketika malam. Jam alarmku berbunyi. Ayam berkokok seperti sedang membaca puisi romantis. Syahdu sendu seolah mengungkapkan rindu akan pagi yang sebenarnya.
Hujan turun bernyanyi dengan nada sumbang berirama sedih dan rapuh. Kubuka kaca jendela saat kudengar derap langkah seperti penguntit mendekati kamarku. Aku mencium aroma bunga sedap malam yang sedang mekar. Kuberanikan langkah untuk berjalan keluar ditengah malam yang begitu mencekam rasanya. Saat kunyalakan lampu ruangan tamu, tiba – tiba seonggok tubuh telah terbaring diatas sofa baru yang dibeli ibu dua hari yang lalu. Tubuhnya besar dan bau asap. Aku mendekatinya lalu mencoba menyentuh punggungnya dengan penuh hati – hati. Tiba – tiba dia bergerak reflex dan bruukk!. Jatuh ke lantai. dia menarik kakiku dan mencoba memukulku. Serentak aku berubah layaknya seorang Spartan yang beringas. Aku menghajarnya hingga babak belur. Rasa sakit yang dia rasakan membuatnya semakin ingin mencekik leherku. Dengan sisa – sisa tenaga dia berusaha melawanku. Tapi aku terlalu tangguh malam itu.
Malam yang mencekam itu sejenak menjadi ramai dengan bunyi derap perkakas yang berhamburan dilantai. Pot antik milik ibu pecah, sedangkan televisi yang baru dibeli ayah rusak terkena remot yang dia lemparkan kepadaku. Kaca jendela pecah, kursi plastik pun ikut – ikutan patah. Tanganku berdarah. Sedangkan dia terkujur lemah dilantai dengan memar yang menutupi wajah. Entah kekuatan apa yang membuatku menggila sampai membuatnya seperti itu.
Saat itu lampu padam dan gelap menutupi ruangan tempat aku beradu. Hujan mulai mereda dan suara nafasnya semakin pelan hingga akhirnya aku tak bisa mendengarkannya lagi. Darah semakin banyak melumuri lantai.
Aku terbangun seketika dan rasanya seperti baru saja bermimpi buruk. Tubuhku begitu lelah seperti seharian bermain bola tanpa henti. Otot pahaku mengeram dan jari kelingkingku patah. Wajahku tersayat kaca. Aku ketakutan saat tersadar berada dalam suasana gelap.
Kusongsong jalan berdasarkan insting untuk mencari saklar lampu di ruangan itu. Saat lampu kunyalakan, aku melihat sebuah pintu berwarna putih tepat di depan pintu masuk. Rasa penasaran menggila membuatku ingin sekali untuk membukanya. Dengan nafas yang terengah – engah, langkahku berjalan pelan tapi pasti mulai menyongsong pintu. Saat didepannya, aku membuka pintu untuk memastikan apa sebenarnya yang terjadi didalam pintu tersebut. Sebab aku mendengarkan suara desahan wanita yang sedang bergelora.
Pintu terbuka, aku melihat seorang wanita cantik dan seksi dengan pakaian tipis berwarna ungu sedang bernyanyi dengan memegang sebuah maik. Didepannya ada seorang lelaki bertopeng yang tepat berdiri depan wajah wanita tersebut dengan memegang sebuah parang yang mengkilap. Dia melenggang dan hendak menebas kepala wanita dihadapannya. Refleksku pun aktif seketika. Lagi – lagi aku menghantamnya dengan beringas. Parang yang dipegangnya terjatuh dan aku mengambilnya lalu menebas kepala, perut dan kakinya. Saat aku hendak memeriksa keberadaan wanita tersebut, dia kemudian mencoba menikam jantungku. Aku menghindar dan bergerak gesit kembali menyerangnya. Aku tak bisa mengendalikan emosi yang membakarku, wanita itu pun tewas hanya dengan satu tebasan di kepalanya.
Pintu tertutup, dan pintu yang satunya terbuka secara paksa. Beberapa pria dewasa dengan memegang senjata menodongku. Mereka merengsek masuk dan menghajarku. Aku tersadar, saat berada dikantor polisi, ketika seorang petugas menyiramku disebuah ruangan interogasi. Aku kebingungan dan meminta mereka menamparku. Aku mengira aku sedang bermimpi. Aku berusaha bangun, ku pejamkan mata lalu kubuka lagi berkali – kali. Tapi situasi tidak berubah sama sekali. Aku bertanya kepada petugas itu. Dimana aku berada ? kenapa tubuhku terikat ? dan mereka hanya tersenyum lalu menghantam kepalaku.
Mereka membawaku ke sebuah sel. Disana sekumpulan homo telah menungguku. Mereka menelanjangiku dan memperkosaku. Aku hanya bisa menjerit dan menangis. Mereka menahan kedua tangan dan kakiku. Sejak saat itu aku menyadari bahwa ini bukan mimpi lagi. Aku masih tak tahu alasan mengapa berada di dalam penjara ini.
Dua minggu kemudian sidang telah menungguku. Aku dijatuhkan hukuman sepuluh tahun penjara akibat tindak kriminal terkeji di awal tahun 2012. Ternyata aku telah membunuh ayah, ibu, dan pamanku. Saat kembali ke penjara, dimalam hari, aku melihat sebuah pintu berwarna hitam. Aku mendekat dan membukanya. Tiba – tiba aku berada didepan kamarku. aku melihat Ayah dan ibu sedang menonton diruangan tamu. Pamanku kemudian melompat dari jendela kedalam kamarku dan mengagetkanku. Lalu dia tersenyum. Aku menampar pipiku dan rasanya hambar. Aku kebingungan dan berjalan mendekati ayah dan ibu. Tiba – tiba aku terhadang sebuah pintu berwarna putih. Aku pun masuk dan berada disebuah peti. Hingga aku tak bisa bernafas, aku mengharapkan ada pintu lagi. Tapi sayangnya tidak ada. Itu adalah pintu terakhir yang aku buka.

31-01-2012

Pengikut

Arsip Blog